Jangan Jadi Sarjana Munafik!
9:36 PM
Oleh : pupah masfufah
Pragmatis dan idealis. Itulah mahasiswa.
Menuntut semua harus seperti semestinya. Salah sedikit, berbagai macam bentuk suara
pun dilontarkan. Dari mulai yang paling halus seperti himbauan hingga yang
paling ekstrim seperti demo. Ya, memang begitulah seharusnya seorang mahasiswa.
Eksistensinya harus mampu menjadi controller pemerintah dan agent of change
bagi masyarakat. dan seperti kita ketahui, sebuah rezim kekuasaan pemerintahan
berhasil dtumbangkan. Oleh siapa? Oleh mahasiswa. Keputusan pemerintah
menaikkan harga BBM yang dinilai tidak pro rakyat kecil, pada akhirnya ditunda
untuk beberapa bulan. Karena siapa? Karena aksi demo ribuan mahasiswa. Pada
realitanya, mahasiswa memang mampu memberi peran yang positif. itu, jika
berbicara dalam ruang lingkup yang luas. Lalu untuk lingkup yang kecil
(lingkungan kampus), bagaimana peran mahasiswa?? Mahasiswa tetap sama pada
karekaternya. Selalu cenderung menginginkan keadaan harus berjalan pada koridor
yang semestinya. Walhasil, selalu ada “amal ma’ruf dan nahi munkar” pada diri
mahasiswa.
Misalnya, mahasiswa aktivis dakwah
kampus, lihatlah kesehariannya. Dari segi pakaian, mereka tak pernah memakai
celana walaupun itu celana bahan sekalipun (bagi yang perempuan), kerudung yang
lebar bahkan jika dirasa transparan memakai kerudung lebih dari satu sekaligus
pun tak jadi masalah, baju yang longgar walau kadang dicibir seperti memakai baju
kebesaran, mangset yang hampir menutupi setengah telapak tangan, dan kaos kaki
yang tak pernah lepas. Semua itu karena mereka menilai, seperti itulah pakaian
yang seharusnya, sesuai dengan syariat islam. Jika mereka menenui teman sesame
mahasiswanya tidak memakai pakaian syar’i dengan langsung mereka mengingatkan.
Entah itu dengan pendekatan pribadi atau dengan mengajak mereka ke acara kajian
fikih (mentoring).
Kemudian, kita lihat mahasiswa para
aktivis BEM, mereka begitu mengagung-agungkan aspek amanah. Setiap program
kerja harus terlaksana sesuai dengan keputusan rapat kerja, laporan keuangan
dibuat harus transparan, tidak boleh ada penyelewangan dana sedikitpun,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan prosedur, bahkan birokrasi yang menyulitkan
atau anggaran dana yang minim tidak menjadi hambatan.
Lain lagi dengan mahasiswa aktivis
organisasi ekstra kampus. selain aktif mengkaji setiap kebijakan-kebijakan
pemerintah, ia juga aktif mengawasi setiap kebijakan kampus. baik itu di
tataran rektorat maupun dekanat. Selalu saja ada selebaran di madding-mading
atau ditempat dimana banyak mahasiswa berkumpul mengenai analisis-analisi
kritis atas kebijakan kampus bahkan tak jarang dari mereka membuat kebisingan
di area kampus dengan orasi-orasi. Adu mulut dengan para satpam seperti hal
yang sudah biasa.
Itu ketika mereka menjadi mahasiswa.
Mahasiswa dalam artian, masih hidup di lingkungan kampus? lalu pertanyaannya,
bagaimana ketika mereka sudah tak lagi menjadi mahasiswa? Ketika mereka sudah
jadi sarjana? Ketika mereka sudah berkecimpung di dunia kerja???
Apakah ini sebuah kewajaran atau sebuah
ironi, entahlah. Mahasiswa aktivis dakwah banyak yang tak mampu menjadi sarjana
aktivis dakwah. Ketika pekerjaan menuntut mereka berpakaian sedikit ketat,
kerudung sedikit dinaikkan, banyak dari mereka yang dahulu mahasiswa aktivis
dakwah kampus menurutinya. Bahkan ada yang menanggalkan kaos kaki, dan lebih
ekstrim lagi berjabat tangan dengan rekan kerja yang bukan mahrom pun menjadi
kebiasaan. Mereka seperti terbawa suasana. Lupa dengan dakwahnya dahulu.
Pun
dengan mahasiswa aktivis BEM dan aktivis organisasi ekstra kampus, tak sedikit
dari mereka yang berlaku curang dengan anggaran dana, memalsukan dokumen,
melakukan nepotisme, menyalahi aturan birokrasi yang ada dengan dalih yang
penting diri sendiri dalam posisi aman. Idealisme yang dahulu seperti mendarah
daging, seakan hilang bersama keringat yang keluar karena bekerja. Tak peduli
dengan keadaan sekitar, hanya mementingkan diri sendiri. Lebih jauh lagi, tak
ada “amar ma’ruf nahi munkar”, dunia kerja adalah dunia dimana manusia hidup
untuk dirinya sendiri.
Sarjana munafik. Ya, mungkin itulah
sebutan yang pantas untuk mereka. Mereka yang memakan perkataannya
sendiri. Manusia yang melanggar apa yang dahulu ia pertahankan setengah mati.
Hati tak lagi bicara, semua atas nama rasionalitas. Astaghfirullah… semoga kita
semua berada dalam kebaikan. Kebaikan diri sendiri dan untuk orang lain. Tetap
berada dalam dakwah dan tetap mendakwahi sesama.
Wallahu a’lam…
diambil dari: http://www.ldkkomdafeb.co.cc
0 comments