Bekerja di Bank yang melakukan riba?
8:29 PM
Keharaman riba sudah jelas dalam Islam dan tidak
diperdebatkan, “Rasulullah saw melaknat
orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua rang
saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan
At-Tirmidzi)
Hadits shahih diatas itu menyiksa hati orang-orang Islam yang
bekerja di bank-bank atau syirkah (persekutuan) yang aktivitasnya tidak lepas
dari tulis-menulis dan bunga riba. Namun, perlu diperhatikan bahwa masalah riba
ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau penulisnya pada berbagai
syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke sistem ekonomi kita dan semua
kegiatan yang berhubungan dengan keuangan sehingga merupakan bencana umum,
sebagaimana yang diperingatkan Rasulullaah saw berikut ini “Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak
tersisa seorang pun melainkan akan makan riba; barang siapa yang tidak
memakannya maka dia akan terkena debunya.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya
melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktikkan riba.
Namun, kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah gangguan kapitalis ini
hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam.
Disisi lain, jika kita melarang semua muslim bekerja di bank,
dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim,
seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai
mereka.
Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua
pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada
diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan
sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan disana yang termasuk haram.
Oleh karena itu, tidak mengapalah jika seorang muslim menerima
pekerjaan tersebut –meskipun hatinya tidak rela- dengan harapan tata
perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama dan
hatinya.
Hanya saja, dalam hal ini hendaklah dia melaksanakan tugasnya
dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya
beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya. “Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa
yang dia niatkan.” (HR. Al-Bukhori)
Selanjutnya, janganlah kita melupakan kebutuhan hidup yang
oleh fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang
mengharuskan siapa pun untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari
penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah swt berikut ini : “....tetapi barang siapa terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Baqarah : 173)
Wallaahu a’lam..
from Majalah Giving Insight dengan sumber Fatwa-fatwa
kontemporer, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.
0 comments